Jumat, 16 Desember 2016

Sejarah Gudeg, Ikon Kuliner Yogyakarta

     Hallo readers! kali ini aku mau bahas tentang makanan gudeg. Yap, Gudeg! Gudeg merupakan makanan khas Yogykarta. Ternyata, makanan ini bukan hanya sekedar kuliner khas Jogja tapi juga memiliki sejarah unik di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, yuk kita simak ulasan berikut.

Gudeg Jogja Yu Jum
Sumber: https://www.wego.co.id
     Gudeg adalah makanan tradisional khas Yogyakarta yang terbuat dari nangka muda yang ditambah gula kelapa dan santan. Makanan ini biasanya disajikan dengan nasi putih, ayam, telur rebus, tahu, tempe. Gudeg juga merupakan makanan yang tekenal manis dan berwarna cokelat. Warna cokelat ini berasal dari daun jati yang dimasak secara bersamaan. Namun, ada juga gudeg yang berwarna utih seperti gudeg Djuminten di daerah Kranggan. Waktu memasak gudegpun terbilang cukup lama agar nangka benar-benar matang.

     Ada dua jenis gudeg, yaitu gudeg kering dan gudeg basah. Gudeg kering dimasak hingga airnya mengering dan bumbu menyatu dengan gudeg, sehingga penampilannya menjadi kering. Gudeg kering biasanya disajikan dengan areh (kuah) kental. Sedangka gudeg basah adalah gudeg yang biasanya disajikan dengan areh encer, sehingga tampak basah dan berkuah. Namun, ternyata ada juga jenis gudeg Solo dan Gudeg Manggar. Gudeg Solo adalah gudeg yang arehnya berwarna putih, sedangkan gudeg manggar adalah gudeg yang arehnya menggunakan putih bunga kelapa.

    Berdasarkan teksturnya dan potongan nangka, gudeg juga dibagi menjadi 3 jenis, yaitu potongan gedhe, sedengan, dan lembek. Gudeg dengan potongan gedhe biasanya nangkanya dipotong besar-besar. Sedangkan potongan sedengan, biasanya nangka dipotong sedang, dan lembek biasanya dipotong kecil-kecil sehingga teksturnya lembut (Nurindiani, 2012).

    Dibalik rasa dari makanan gudeg ini, ternyata gudeg memiliki sejarah di dalamnya. Berdasarkan Serat Centini, gudeg pertama kali dikenal pada tahun 1819 yaitu pada zaman Mataram Kuno. Pada waktu tersebut, gudeg disebut makanan yang merakyat di Jawa, termasuk Yogyakarta. Pada saat masa penjajahan, jati termasuk komoditas pertanian yang menjadi andalan keuangan pemerintah. Berbeda dengan nangka, nangka tidak dianggap memiliki nilai ekonomis karena disebut tanaman yang merakyat dan semua orang punya. Oleh karena itu, kolonial Belanda memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memanfaatkan pohon nangka, termasuk diolah dan dikembangkan menajdi gudeg.

     Gudeg merupakan makanan ikon daerah Yogyakarta. Nama gudeg berasal dari bahasa Jawa yaitu diudeg yang artinya diaduk, karena gudeg diaduk berulang-ulang di atas kayu besar agar tidak gosong atau anggudeg

     Gudeg yang pertama kali muncul adalah gudeg basah. Karena bentuknya yang basah, gudeg basah tidak dapat bertahan lama dan tidak bisa dibawa perjalanan jauh. Karena hal tersebut, lalu munculah gudeg kering yang dimasak dalam waktu yang cukup lama hingga kuahnya kering. Gudeg kering biasanya tahan hingga 24 jam.

     Pada awalnya, gudeg hanya disajikan dengan areh saja, Namun, seiring perkembangan zaman, gudeg sekarang disajikan dengan makanan pelengkap seperti daun singkong, telur, sambal goreng tempe, krecek, maupun ayam. Gudeg merupakan makanan harian yang bisa dimakan kapan saja karena tidak ada aturan bisa dimakan pada hari tertentu (Abadi, D. & Budhy, A, 2015).


Referensi

Nurindiani, R. 2012. Gudeg Dalam Perspektif Masyarakat Yogyakarta. Diakses dari http://www.trulyjogja.com/wp-content/uploads/2014/05/Gudeg.pdf diakses pada 16 Desember 2016

Abadi, D. & Budhy A. 2015. Daerah Istimewa Gudeg. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta. Diakses dari http://www.jurnalkommas.com/docs/JURNAL_Dwi_Abadi.pdf.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar